Gedung Kavallerie-Artillerie di Kompleks Pura Mangkunegara, Solo, menjadi salah satu bukti terorganisasinya Legiun Mangkunegara sebagai pasukan kerajaan. Gedung yang didirikan pada tahun 1874 ini sekarang dijadikan tempat tinggal oleh sejumlah warga.
Sejak didirikan tahun 1808, Legiun Mangkunegara mencatat sejarah panjang sebagai unit militer Nusantara paling modern di zamannya. Legiun Mangkunegara ikut dalam pelbagai kancah pertempuran, seperti Perang Napoleon di Asia sebagai bagian dari pasukan Perancis-Belanda melawan pasukan Inggris-Sepoy (India) tahun 1811, Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), sejumlah operasi militer di Nusantara, hingga menghadapi Jepang dalam perang Pasifik (1942) di seantero Nusantara.
Raden Mas Sarwanta Wiryasuputra dalam buku Legiun Mangkunegara yang diterbitkan Reksopustoko, Perpustakaan Istana Mangkunegaran, 1978, menjelaskan, operasi tempur pertama terjadi pada masa kepemimpinan Herman Willem Daendels, sang perwira kepercayaan Napoleon Bonaparte, pada tahun 1808.
Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara di bawah Pangeran Ario Praboe Prang Wedana sebagai kolonel dalam dinas Sri Baginda Lodewijk Napoleon— kerabat Napoleon Bonaparte— memiliki total 1.150 prajurit yang dibagi dalam 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (meriam).
Struktur awal staf dan anggota Legiun Mangkunegara memiliki 2 orang perwira senior berpangkat mayor, 4 letnan ajudan, 9 kapitein, 8 letnan tua, 8 letnan muda, bintara sebanyak 32 sersan, tamtama sebanyak 62 kopral, flankier 900 orang, dragonder (dragoon) 200 orang, dan steffel 50 orang. Mereka menggunakan seragam topi syako dan jas hitam pendek bagi bintara dan prajurit. Perwira memakai topi syako, jas hitam, dan celana putih.
Saat Inggris mengalahkan Perancis, Legiun Mangkunegara dibubarkan oleh pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Namun, karena desakan kebutuhan, Legiun Mangkunegara segera dimobilisasi kembali.
Sewaktu perdamaian ter- capai di Eropa, Hindia Belanda pun dikembalikan Inggris kepada Belanda pada tahun 1816. Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara sebanyak 739 serdadu. Kemudian, susunan organik ditetapkan sebanyak 800 orang. Pada Perang Jawa (1825- 1830), kekuatan Legiun Mangkunegara ditingkatkan menjadi 1.500 orang. Seusai perang, kekuatan Legiun Mangkunegara dikurangi menjadi 1.000 personel.
Modernisasi Legionnaire Jawa
Reorganisasi dan modernisasi dilakukan menyeluruh pada era Mangkunegara IV (1853-1881). Mangkunegara yang berhasil membangun perekonomian dengan perkebunan tebu, industri gula, dan agrobisnis lainnya mengembangkan Legiun Mangkunegara sedemikian rupa. Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu didirikan oleh Mangkunegara IV dan menjadi sumber kemakmuran kawula Mangkunegara.
Demi membangun militer yang profesional, dibuat buku panduan Soldat Sekul (Sekolah Prajurit) pada tahun 1855 oleh Fredericus Willhelmus Winter, seorang guru bantu di Surakarta. Instruksi bagi Legionnaire menggunakan bahasa Belanda yang ”dijawakan”. Sebagai contoh, purwares mares (voorwarts mars) yang berarti maju jalan, gewonepas (gewone pas), yakni jalan biasa, dan geswindepas (gezwinde pas) yang berarti jalan dipercepat.
Pelatih profesional pun didatangkan pada tahun 1875, yakni seorang kapten infanteri, 4 bintara infanteri Eropa, ditambah masing-masing seorang letnan dan bintara kavaleri Eropa.
Karena kesulitan keuangan, pada tahun 1888 satuan artileri yang berkekuatan 50 prajurit dan setengah baterai lapangan (field battery) yang memiliki empat pucuk meriam kaliber 80 milimeter ditiadakan.
Semasa Perang Dunia I (1914-1918) berkecamuk di Eropa, Afrika, dan Asia, kekuatan Legiun Mangkunegara dikembangkan hingga 2.000 personel. Kala itu timbul polemik tentang Indie Werbaar (Pertahanan Hindia Belanda) di Nusantara tentang upaya melibatkan masyarakat setempat dalam menjaga Hindia Belanda dari serangan militer asing. Setelah perang berakhir, jumlah pasukan kembali diciutkan menjadi 925 prajurit pada tahun 1922.
Modernisasi terakhir dialami tahun 1935 menjelang Perang Dunia II pecah di Pasifik. Mangkunegara VII, seperti para pendahulunya, selalu mencermati perkembangan dunia dan mengembangkan Legiun Mangkunegara sedemikian rupa. Legiun Mangkunegara dibagi atas staf dan satu setengah batalyon infanteri.
Staf legiun memiliki ajudan atau intendan, dokter militer, dan korps musik. Sementara batalyon dibagi atas enam kompi serta unit mitraliur (senapan mesin). Legiun Mangkunegara terlibat dalam pertempuran melawan Jepang di Pulau Tarakan, Kalimantan Timur, menghadang Jepang di Surakarta dalam pertempuran di sekitar Jalan Slamet Riyadi, serta pertempuran terakhir sebelum Pulau Jawa jatuh ke tangan militer fasis Jepang di sekitar Pulau Madura, Jawa Timur, Stelling Ciater-Lembang di Jawa Barat, dan mempertahankan Pelabuhan Cilacap di Jawa Tengah.
Setelah Jepang menguasai Nusantara, Legiun Mangkunegara pun dibubarkan. Menurut sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, setelah Indonesia merdeka tahun 1945, banyak di antara mantan Legionnaire yang menyumbangkan keahlian mereka ke dalam militer Republik Indonesia.
Sejak didirikan tahun 1808, Legiun Mangkunegara mencatat sejarah panjang sebagai unit militer Nusantara paling modern di zamannya. Legiun Mangkunegara ikut dalam pelbagai kancah pertempuran, seperti Perang Napoleon di Asia sebagai bagian dari pasukan Perancis-Belanda melawan pasukan Inggris-Sepoy (India) tahun 1811, Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), sejumlah operasi militer di Nusantara, hingga menghadapi Jepang dalam perang Pasifik (1942) di seantero Nusantara.
Raden Mas Sarwanta Wiryasuputra dalam buku Legiun Mangkunegara yang diterbitkan Reksopustoko, Perpustakaan Istana Mangkunegaran, 1978, menjelaskan, operasi tempur pertama terjadi pada masa kepemimpinan Herman Willem Daendels, sang perwira kepercayaan Napoleon Bonaparte, pada tahun 1808.
Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara di bawah Pangeran Ario Praboe Prang Wedana sebagai kolonel dalam dinas Sri Baginda Lodewijk Napoleon— kerabat Napoleon Bonaparte— memiliki total 1.150 prajurit yang dibagi dalam 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (meriam).
Struktur awal staf dan anggota Legiun Mangkunegara memiliki 2 orang perwira senior berpangkat mayor, 4 letnan ajudan, 9 kapitein, 8 letnan tua, 8 letnan muda, bintara sebanyak 32 sersan, tamtama sebanyak 62 kopral, flankier 900 orang, dragonder (dragoon) 200 orang, dan steffel 50 orang. Mereka menggunakan seragam topi syako dan jas hitam pendek bagi bintara dan prajurit. Perwira memakai topi syako, jas hitam, dan celana putih.
Saat Inggris mengalahkan Perancis, Legiun Mangkunegara dibubarkan oleh pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Namun, karena desakan kebutuhan, Legiun Mangkunegara segera dimobilisasi kembali.
Sewaktu perdamaian ter- capai di Eropa, Hindia Belanda pun dikembalikan Inggris kepada Belanda pada tahun 1816. Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara sebanyak 739 serdadu. Kemudian, susunan organik ditetapkan sebanyak 800 orang. Pada Perang Jawa (1825- 1830), kekuatan Legiun Mangkunegara ditingkatkan menjadi 1.500 orang. Seusai perang, kekuatan Legiun Mangkunegara dikurangi menjadi 1.000 personel.
Modernisasi Legionnaire Jawa
Reorganisasi dan modernisasi dilakukan menyeluruh pada era Mangkunegara IV (1853-1881). Mangkunegara yang berhasil membangun perekonomian dengan perkebunan tebu, industri gula, dan agrobisnis lainnya mengembangkan Legiun Mangkunegara sedemikian rupa. Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu didirikan oleh Mangkunegara IV dan menjadi sumber kemakmuran kawula Mangkunegara.
Demi membangun militer yang profesional, dibuat buku panduan Soldat Sekul (Sekolah Prajurit) pada tahun 1855 oleh Fredericus Willhelmus Winter, seorang guru bantu di Surakarta. Instruksi bagi Legionnaire menggunakan bahasa Belanda yang ”dijawakan”. Sebagai contoh, purwares mares (voorwarts mars) yang berarti maju jalan, gewonepas (gewone pas), yakni jalan biasa, dan geswindepas (gezwinde pas) yang berarti jalan dipercepat.
Pelatih profesional pun didatangkan pada tahun 1875, yakni seorang kapten infanteri, 4 bintara infanteri Eropa, ditambah masing-masing seorang letnan dan bintara kavaleri Eropa.
Karena kesulitan keuangan, pada tahun 1888 satuan artileri yang berkekuatan 50 prajurit dan setengah baterai lapangan (field battery) yang memiliki empat pucuk meriam kaliber 80 milimeter ditiadakan.
Semasa Perang Dunia I (1914-1918) berkecamuk di Eropa, Afrika, dan Asia, kekuatan Legiun Mangkunegara dikembangkan hingga 2.000 personel. Kala itu timbul polemik tentang Indie Werbaar (Pertahanan Hindia Belanda) di Nusantara tentang upaya melibatkan masyarakat setempat dalam menjaga Hindia Belanda dari serangan militer asing. Setelah perang berakhir, jumlah pasukan kembali diciutkan menjadi 925 prajurit pada tahun 1922.
Modernisasi terakhir dialami tahun 1935 menjelang Perang Dunia II pecah di Pasifik. Mangkunegara VII, seperti para pendahulunya, selalu mencermati perkembangan dunia dan mengembangkan Legiun Mangkunegara sedemikian rupa. Legiun Mangkunegara dibagi atas staf dan satu setengah batalyon infanteri.
Staf legiun memiliki ajudan atau intendan, dokter militer, dan korps musik. Sementara batalyon dibagi atas enam kompi serta unit mitraliur (senapan mesin). Legiun Mangkunegara terlibat dalam pertempuran melawan Jepang di Pulau Tarakan, Kalimantan Timur, menghadang Jepang di Surakarta dalam pertempuran di sekitar Jalan Slamet Riyadi, serta pertempuran terakhir sebelum Pulau Jawa jatuh ke tangan militer fasis Jepang di sekitar Pulau Madura, Jawa Timur, Stelling Ciater-Lembang di Jawa Barat, dan mempertahankan Pelabuhan Cilacap di Jawa Tengah.
Setelah Jepang menguasai Nusantara, Legiun Mangkunegara pun dibubarkan. Menurut sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, setelah Indonesia merdeka tahun 1945, banyak di antara mantan Legionnaire yang menyumbangkan keahlian mereka ke dalam militer Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment