Thursday, October 7, 2010

Sejarah Pangeran Sambernyawa

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I alias Pangeran Sambernyowo alias Raden Mas Said (Kraton Kartasura, 7 April 1725 - Surakarta, 28 Desember 1795) adalah pendiri Praja Mangkunagaran, sebuah keadipatian tinggi di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunagara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.

Pasukan Wanita Mangkunegoro
Mangkunegoro mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai istana Mangkunagaran. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkunegoro, tercapailah kemudian perjanjian di Salatiga, 17 Maret 1757. Dalam perjanjian yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengku Buwono I, dan Kompeni Belanda ini, disepakati bahwa Mangkunegoro diangkat sebagai adipati miji alias mandiri. Ia bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Arya Hamangkunegoro. Kedudukannya sejajar dengan Sunan dan Sultan. Ia memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795. Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegoro I sebagai pahlawan nasional, mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.

Selama bertahta, ia membangun kekuasaan militer terbesar di antara tiga kerajaan Jawa. jumlah pasukannya mencapai 4.279 tentara reguler. Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan Kompeni. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegoro mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

Di sebuah gubuk di perkampungan kecil, seorang Pangeran singgah untuk beristirahat. Kedekatannya dengan rakyat, membuat ia tak segan makan jenang katul (bubur bekatul) yang dihidangkan oleh Mbok Rondo penghuni gubuk itu. Sementara, ratusan tentara kompeni mulai menyebar dan mengepung setiap sudut kampung tempat Pangeran itu singgah. Ketika jenang katul masih panas, Sang Pangeran menyendoknya tepat di bagian tengah lalu memakannya, tentu saja terasa sangat panas..! “Duh pangeran kalau makan jenang katul itu jangan langsung di tengah, tapi dari pinggir dulu terus muter, jadi pas sampai tengah kan sudah dingin,” kata Mbok Rondo.

Pangeran tertegun, ia terus merenungi perkataan Mbok Rondo. Sementara, tentara kompeni semakin banyak yang mengepung kampung itu. Sang Pangeran pun bergegas meninggalkan gubuk, dengan pedang saktinya ia bergerak keluar dari kampung itu, untuk kemudian membabat habis tentara kompeni dengan arah melingkar seperti yang dianjurkan oleh Mbok Rondo sewaktu makan jenang katul.

Ternyata Pangeran bukan cuma sakti, tetapi juga cerdas. Ia tanggap pada setiap perkataan yang bermakna tanpa melihat siapa yang mengatakan. Walaupun, perkataan itu dari seorang rakyat miskin seperti Mbok Rondo. Tapi Pangeran mampu menjadikannya sebuah strategi perang yang andal. Kesaktian dan kepiawaian dalam berperang membuat lawan semakin gentar, ia selalu menjatuhkan banyak korban sehingga ia dijuluki Pangeran Sambernyawa.

Cerita tentang Pangeran Sambernyawa masih melekat di hati masyarakat Solo terutama di daerah pedesaan. Hingga kini, tempat-tempat yang dulu pernah di singgahi oleh Pangeran Sambernyawa masih kerap dikunjungi oleh peziarah terutama pada bulan Suro.

Berikut sejarah Pangeran Sambernyawa menurut penuturan Mas Ngabehi Cipto Astono, penjaga dan perawat Astana Mangadeg.

Masa perjuangan Pangeran Sambernyawa terus berlangsung selama 16 tahun. “Beliau diasingkan oleh keluarga keraton yang waktu itu telah dikuasai oleh Hindia Belanda,” tutur Mas Ngabehi. “Pangeran Sambernyawa yang mempunyai nama Raden Mas Said, keluar dari keraton dan berbaur dengan rakyat kecil untuk memimpin pasukan melawan Hindia Belanda,” lanjutnya.

Pangeran Sambernyawa dan pasukannya bergerilya sampai ke daerah Tawangmangu, Karanganyar. Kemudian bertemu dengan dua orang pertapa yang bernama Kyai Adi Roso dan Kyai Adi Sono di daerah Sumokaton. Oleh kedua pertapa itu, Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said disuruh pergi berdiam diri di Gunung Mangadeg untuk bertapa dan memohon petunjuk dari Sang Pencipta, yaitu Alloh SWT.

“Dalam pertapaannya di Gunung Mangadeg, Pangeran Sambernyawa mendapat barokah pusaka berupa samurai dan stambul. Setelah selesai dari pertapaannya, beliau bertemu dengan Ludono Warso yang kemudian diangkat menjadi patih saat Pangeran Sanbernyawa telah menjadi Raja Mangkunegaran I,” kata Mas Ngabei.

Pangeran Sambernyawa terus melanjutkan perjuangan melawan Hindia Belanda ke wilayah Wonogiri. “Di sana beliau diangkat menjadi raja oleh para pengikutnya di Wonogiri. Namun, pengangkatan dan pembentukan kerajaan tersebut menemui banyak kendala, hingga beliau memutuskan untuk tidak menjadi raja dan membatalkan pembentukan kerajaan.” Pangeran Sambernyawa memilih melanjutkan perjuangannya melawan V.O.C Hindia Belanda sampai akhirnya berhasil memukul mundur dari bumi Mataram. Setelah V.O.C Hindia Belanda mundur, pucuk pimpinan kerajaan Mataram kosong, maka diangkatlah raja baru bergelar Pakubuwono III bertempat di Kartosuro. Yang kemudian memanggil Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi ke keraton untuk mengajak bersama-sama memperbaiki tatanan pemerintahan kerajaan, Mengingat pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi adalah keponakannya.

Namun Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi menolak permintaan tersebut, karena dilatarbelakangi rasa iri sebab Pakubuwono III tidak ikut dalam berjuang mengusir penjajah malah diangkat menjadi raja. Sedangkan Pangeran Sambernyawa yang berjuang melawan penjajah Hindia Belanda selama enam belas tahun tidak diangkat menjadi raja.

Pangeran Sambernyawa menolak untuk masuk kekeraton dan meminta kepada Pakubuwono III wilayah tanah jajahannya sendiri. Permintaan Pangeran Sambernyawa kemudian dikabulkan dan disetujui oleh Pakubuwono III, sehingga kerajaan Mataram dipecah menjadi tiga, yaitu kerajaan Surakarta dan Kerajaan Ngayogyakarta yang diperingati dengan perjanjian Giyanti, serta berdirinya keraton Mangkunegara dengan perjanjian Salatiga. Keraton Mangkunegaran dipegang oleh Pangeran Sambernyawa yang dinobatkan menjadi Raja Mangkunegara I pada tahun 1759 M, hingga beliau wafat pada tahun 1795 M.

Makam Pangeran Sambernyawa berada di Astana Mangadeg karena untuk mengingat kembali masa perjuangannya dalam mengusir penjajah Hindia Belanda selama enam belas tahun dan mendapatkan barokah dengan bertapa di Gunung Mangadeg.

“Di Astana Mangadeg kini telah dibangun monumen yang diberi nama Monumen Tri Darma sebagai tanda tempat dulunya Pangeran Sambernyawa bertapa untuk mencari petunjuk pada Sang Pencipta dalam pengabdiannya pada Bumi Pertiwi,” tuturnya.

“Selain itu, untuk mengingat petunjuk kedua pertapa yaitu kyai Adi Sono dan kyai Adi Roso, di bangunlah gapura, bertuliskan nama kedua kyai tersebut.” Lanjutnya.

Bangunan Astana Mangadeg saat ini terdiri dari tiga komplek bangunan, yaitu komplek makam Mangkunegaran I berserta keturunannya, Komlek makam keturunan Mangkunegaran II dan III, dan komplek makam dari beberapa keturunan yang lain. Pembangunannya diprakarsai oleh yayasan Mangadeg pada tahun 1970.

Monopoli belanda di seluruh jawa misalnya di Batavia telah menguasai segalanya termasuk golongan etnis china yang berdagang di Indonesia pada masa itu juga telah tertekan dan tersingkir, maka pada 30 Juni 1742 pasukan Cina menyerang Mataram yang ada di Kartasura pada masa pemerintahan Paku Buwana II, penyerangan ini karena Mataram dianggap negara boneka Belanda. Penyerangan ini dipimpin oleh Mas Garendi / Sunan Kuning. Geger Pecinan ini telah membuat para bangsawan keraton melarikan diri misalnya Paku Buwana II(raja mataram ketika masih di kartasura/solo) lari ke Ponorogo Jawa Timur, Pangeran Puger membangun pertahanan di Sukowati, Sragen.

Sedangkan RM Said / Mangkunegara waktu itu berusia 19 tahun membangun pertahanan di Randu lawang sebelah utara Surakarta dan karena satu misi maka bergabung dengan Sunan Kuning. Pada masa itu Said bergelar Pangeran Perang Wedhana Pamot Besur yang diangkat sebagai panglima perang dan menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahhati, sedangkan Mangkubumi lari ke Semarang untuk menemui belanda dan meminta dirinya diangkat sebagai Raja. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh belanda, dengan memberikan bantuan pada PB II mengusir pasukan cina dan akhirnya berhasil, karena kerusakan kraton di Kartosura makan kraton dipindah ke Surakarta/Solo. Tetapi berkat bantuan belanda tersebut bagian wilayah timur mulai dari rembang,, Surabaya, madura dan pasuruan di serahkan pada belanda dan pengangkatan raja harus seijin pemerintah belanda.

Yang masih tetap melawan belanda adalah Pangeran Puger dan Mangkunegara, sehingga PB II meminta Mangkubumi untuk meredam para pejuang yang dianggap sebagai pemberontak itu. Keberhasilan Mangkubumi tidak mendapat sambutan baik dari belanda dan PB II malahan tanah lungguhnya dikurangi. Sehingga Mangkubumi lari dan bergabung dengan Mangkunegara untuk bergerilya melawan belanda. RM Said/Mangkunegara dinikahkan untuk yang kedua kali dengan Putri Mangkubumi yang bernama Raden Ayu Inten dan bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senapati Panoto Baris Lelana Adikareng Noto.

Nama Mangkunegara ini diambil dari nama ayahnya Arya Mangkunegara yang ditangkap belanda dan dibuang ke Srilangka, karena menentang kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwana I) karena latar belakang inilah RM Said sangat berkobar melawan belanda. Kehidupan Mangkunegara dihutan dan berpindah-pindah. Hingga pada saatnya PB II meninggal dunia dan kesempatan ini digunakan untuk mengangkat Mangkubumi menjadi raja di Mataram Ngayogyakarta dengan patihnya mangkunegara (1749) tetapi pemerintahan di Yogyakarta tidak diakui oleh kumpeni / belanda.

Sedangkan oleh belanda putra pangeran yang bernama Pangeran Adipati Anom diangkat sebagai raja dengan gelar PB III di Matram Surakarta. Selama sembilan tahun bersama Mangkubumi akhirnya Mangkunegara berselisih paham juga dan berpisah akhirnya berjuang sendiri dipedalaman yogyakarta dan sekitarnya. Perseteruan dua keturunan mataram yang sama-sama mengaku raja Mataram antara Mangkubumi dan Adipati Anom akhirnya dibawa oleh belanda dalam suatu Traktat perjanjian yang bernama Perjanjian Giyanti (1755) dan hasilnya adalah membagi 2 wilayah mataram yaitu bagian timur dengan nama Mataram Surakarta Hadiningrat dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III dan bagian barat bernama Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan raja Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Sedangkan Mangkunegara kini harus berperang melawan 3 kekuatan yaitu dari Yogyakarta, Surakarta dan pasukan Belanda.

Menurut riwayat perang mangkunegara yaitu: selama setahun (1741-1742) bergabung dengan Laskar cina , kemudian selama sembilan tahun (1743-1752) bergabung dengan Mangkubumi. Dalam masa itu Mangkunegara telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali dan berkali-kali mengkunegara lolos dalam penyergapan, keberhasilan membina pasukan yang militan sangat ditakuti sehingga mendapat julukan “Pangeran Samber Nyawa “, Dalam buku harian Mangkunegara ada dua pertempuran besar yaitu pertempuran di desa Sitakepyak selatan Rembang . pasukan musuh sebanyak 600 tewas yang dilukiskan seperti semut yang berjalan tiada henti sedangkan prajuritnya yang tewas hanya 3 orang 29 luka-luka.(1756) . dalam perang ini tercatat oleh belanda telah melakukan serangan gabungan yaitu 200 serdadu belanda, 400 pasukan Kesultanan Yogyakarta dan 400 Pasukan Surakarta. Bahkan kapten Ban Der Poll tewas terpenggal kepalanya dengan tangan kirinya di sambar oleh Pangeran Sambernyawa dan di berikan kepada selir Mbok Ajeng Wiyah selirnya sebagai tanda cinta Mangkunegara.

Perang besar kedua yaitu di hutan dekat Blora pada tahun 1757. keganasan pasukan belanda yang menyerang dan menjarah harta orang desa membuat marah Sambernyawa yang akhirnya menyerang balik Kraton Yogyakarta dan mendudukinya hingga malam, bahkan patihnya yang bernama Joyosudirgo dipenggal kepalanya. Kejadian ini membuat marah pamanya atau mertuanya Mangkubumi dan menghadiahkan siapa saja yang berhasil membunuh Sambernyawa akan di bayar 500 real.

Kehebatan Pangeran Sambernyawa tidak terkalahkan oleh siapapun hingga akhirnya belanda meminta bantuan kepada Paku Buwono III agar bisanya mengajak berunding secara kekeluargaan. Dan akhirnya atas permintaan secara kekeluargaan pula Mangkunegara berhenti berperang dihutan dan diakui kehebatannya dan akhirnya mendirikan istana di pinggiran Kali Pepe pada 1756 dan tempat inilah yang sekarang terkenal dengan nama istana Mangkunegara.

Kemudian dibuat perjanjian Salatiga 17 maret 1757 dengan isi mangkunegara diangkat sebagai Adipati Miji (mandiri ) yang pangkatnya sejajar dengan Sultan dan Sunan dan daerah kekuasaanya meliputi: Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyun, Gunung Kidul, Pajang utara dan Kedu. Mangkunegara wafat pada 28 Desember 1795. Oleh pemerintah Indonesia Mangkunegara diangkat sebagai pahlawan Nasional dan disana didirikan Pendopo terbesar di Indonesia seluas 3500 meter persegi.

No comments:

Post a Comment